Sejarah Kepalangmerahan

Perang Semenanjung Krim

          Pada bulan Maret 1854 pecah perang antara Rusia berhadapan dengan Turki yang di bantu oleh Inggris dan Perancis di Semenanjung Krim, Laut Hitam yang masuk wilayah Rusia. Penyebabnya adalah dikarenakan Rusia ingin menguasai Selat Bosporus, Selat Dardanera dan Laut Marmora, yang berada di wilayah Turki, untuk kepentingan jalan keluar masuk kapal-kapal perangnya dari dan ke Laut Tengah karena Rusia tidak memiliki pelabuhan yang cukup untuk armada Angkutan Lautnya. Untuk mempertahankannya, Turki di bantu oleh Perancis dan Inggris karena kedua Negara ini sama-sama mempunyai kepentingan di Laut Tengah. Oleh karena itu maka pecahlah perang pada bulan Maret 1854 melalui peryataan perang oleh Perancis dan Inggris-Turki terhadap Rusia.
          Perang yang terkenal dengan “Perang Semenanjung Krim” ini  berlangsung cukup lama (2 tahun), setelah diakhiri dengan perundingan perdamaian yang diadakan di Paris tanggal 30 Maret 1856, dimana Rusia mengaku kalah.
          Pada perang Krim ini sangat terkenal dengan pengabdian seorang gadis (perawat) Inggris bernama Florence Nightingale beserta 38 orang perawat wanita lainnya. Nama “Florence” diambil dari nama kota di Italy dimana ia dilahirkan pada tanggal 12 Mei 1820, sedangkan “Nightingale” diambil dari nama paman ayahnya. Setelah 3 tahun di Italy, keluarga Edward (ayah Florence) kembali ke Negeri asalnya Inggris, yang pada waktu itu Florence baru berumur 1 tahun.
          Mengingat banyaknya tentara Inggris yang tewas dan terluka di medan perang, dan mengalami banyak kesulitan dalam perawatan, maka Florence dengan 38 orang teman  perawat wanita lainnya, berangkat dengan kapal laut menuju Turki pada tanggal 21 Oktober 1854 dan tiba tanggal 4 November 1854.
          Selama 2 tahun di garis depan, Florence  yang bertugas di rumah sakit Scuturi (pantai utara Turki) dan juga pernah beberapa lama di garis depan, terkenal dengan julukan “The Lady with The Lamp”, karena ia memeriksa prajurit-prajurit yang sakit dan terluka di malam hari dengan menggunakan lampu. Selama itu pula Florence telah melepas di depan matanya kepergian (meninggalnya) sebanyak 2.000 orang prajurit akibat kurangnya perawatan dan obat-obatan.
          Atas pengabdian yang luar biasa itu, sabagai penghormatan terhadapnya, Pemerintah Inggris merencanakan akan menjemput Florence dengan kapal perang khusus untuk pulang kembali ke Inggris. Tetapi Florence tidak mengharapkan penghargaan seperti itu. Malahan ia pulang dengan diam-diam, menumpang kapal barang Perancis dan menggunakan nama samara dengan Nona Smith”. Tanpa dikeahui oleh orang lain ia muncul di rumah orang tuanya, kota Hurst, pada tanggal 7 Agustus 1856. Florence telah mendapat berbagai penghargaan dari Kerajaan Inggris, Florence meninggal pada 13 Agustus 1910 di Inggris. Dari pengalaqman perang di Semenanjung Krim ini disadari betapa penting peran regu penolong bagi prajurit yang luka dan sakit akibat di medan perang, walaupun perang itu sendiri sudah lama dan merupakan “budaya” dalam kehidupan manusia.


Perang Solferino

          Pada tanggal 24 Juni 1859 pecah pula perang antara Austria, yang menduduki Propinsi Lomardi (Italy Utara yang merupakan bagian ddari Sardinia), berhadapan dengan pasukan Gabungan Perancis dan Sardinia yang terkait dengan “Perjanjian Flombieres” 1859.
          Pasukan gabungan ini dipimpin langsung oleh Kaisar Perancis Napoleon III yang terdiri 150.000 prajurit dengan 400 pucuk meriam berhadapan dengan 170.000 prajurit Austria disertai 500 pucuk meriam yang dipimpin langsung oleh Kaisar Fans Joseph.
          Tanggal 24 Juni 1859 pecahlah perang antar kedua pihak berupa pasukan berkuda, jalan kaki dan menggunakan senjata meriam. Perang sedemikian itu tidaklah dapat disertai dengan pasukan penolong bagi prajurit yang luka, seperti halnya “Perang Merah” dewasa ini. Oleh karena itu, esok harinya, di Desa Solferino, setelah perang berlangsung selama 15 jam, terlihatlah betapa banyaknya mayat bergelimpangan, terdiri dari 9 orang Perwira Tinggi, 1566 perwira lainnya dan 20.000 orang prajurit dari kedua pihak. Dua bulan setelah hari itu, yang meninggal meningkat dua kali lipat dikarenakan kesulitan memberikan perawatan seperti obat, air dan ditambah lagi pengaruh cuaca yang sangat dingin.
          Pada perang Salferino inilah muncul dan terkenal Hendry Dunant, berasal dari Jenewa, Swiss, seorang konglomerat di masanya, yang pada waktu itu kebetulan sedang barada di Solferino dengan maksud menemui Kaisar Napoleon III untuk urusan bisnisnya di Aljazair karena Aljazair adalah daerah jajahan Perancis.
          Walaupun dikatakan bahwa Dunant “kebetulan” saja ada di daerah itu namun dikarenakan jiwa sosialnya yang tinggi, yang tumbuh semenjak masih kecil, maka dengan cepat timbul rasa kemanusiaannya untuk mengambil langkah dan usaha membantu prajurit yang luka dan sakit bersama warga setempat. Dunant tak lagi memikirkan bisnisnya, baik di Aljazair maupun di Jenewa.
          Setelah perang usai, dimana Perancis dan Sardinia keluar sebagai pemenang, Hendry Dunant, selama dua tahun, berusaha mengumpulkan bahan-bahan informasi dan data dari perang yang amat terkenal itu dan akhirnya ia berhasil menuangkan dalam sebuah buku berjudul Kenangan di Solferino” pada tahun 1862.  Dari bukunya itulah lahir ide pertama untuk membentuk institusi kemanusiaan yang bersifat internasional yang dikenai dengan nama “Palang Merah”.
          Yang berperan dalam proses menuju terbentuknya “Palang Merah” adalah 4 orang tokoh dari organisasi social di Jenewa, “The Genewa Public Welfare Society (GPWS)”, dengan masuknya ide Hendry Dunant untuk mewujudkan institusi kemanusiaan yang bersifat internasional, dalam acara pertemuan GPWS tanggal 9 Februari 1863. Ternyata pertemuan itu mendukung ide Hendry Dunant dimaksud, bahkan sekaligus pada hari itu juga langsung membentuk Panitia Kecil terdiri dari 4 orang tokoh GPWS yaitu Gustave Mounier (ketua GPWS), dr. Louis Appia, dr. Theodore Maunoir, Jenderal Guillame Henri Dufour dan Hendry Dunant sendiri yang termasuk dari GPWS. Mereka dikenal dengan “THE COMMITTEE OF fIVE” dengan ketua Gustave Muonier dan sekretaris Hendry Dunant. Dari sinilah bermula proses menuju terbentuknya institusi yang dikenal dengan nama RED CROSS”.
          The Committee of Five, dalam pertemuannya tanggal 17 Februari 1863, mengganti namanya menjadi “THE INTERNASIONAL COMMITTEE FOR THE RELIEF OF THE WOUNDED” dan mengganti susunan pengurus dimana jabatan Ketua  beralih pada Jenderal Guillame Henry Duffour, sedangkan sekretaris tetap pada Hendry Dunant. Pada nama ini sudah tampak sifat keinternasionalnya.

          Pada pertemuannya tanggal 25 Agustus 1863, direncanakan akan menyelenggarakan Konferensi Internasional menuju terbentuknya institusi kemanusiaan yang bersifat internasional di tiap-tiap Negara. Sesuai dengan rencana, maka diselenggarakannya Konferensi Internasional (bukan mewakili pemerintah) di Jenawa yang berlangsung tanggal 26 s/d 29 Oktober 1863 yang diikuti oleh 16 Negara dengan jumlah peserta 31 orang. Konferensi menghasilkan Resolusi yang sangat penting artinya bagi pembentukan Institusi kemanusiaan dimasing-masing Negara, yang bersifat netral, untuk dikerahkan untuk menolong prajurit-prajurit yang luka dan sakit di waktu perang. Juga ditetapkan bahwa setiap sukarelawan yang akan bertugas memberikan pertolongan harus menggunakan band lengan berupa palang merah di atas dasar putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar